Minggu, 05 Juni 2022

Mitos atau Fakta Banyak Anak, Banyak Rezeki ? Dalam Lukisan "Happiness" karya Budiyana

Apakah kalian pernah mendengar isitilah “Banyak Anak Banyak Rezeki”. Istilah ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Pengertian rejeki disini biasanya lebih mengacu kepada materi (uang/harta benda). Ungkapan ini mungkin tidak banyak dianut oleh generasi muda sekarang, Kondisi keluarga modern dengan suami istri yang bekerja, serta kondisi keuangan yang terkadang tidak stabil membuat banyak pasangan muda memilih untuk memiliki sedikit anak. Keputusan ini dinilai sebagai keputusan terbaik oleh banyak pihak, termasuk pemerintah. Namun bagi sebagian orang masih berpegang kuat dengan istilah “Banyak Anak Banyak rezeki” karena terkait juga dengan ajaran agama (Islam).

 

Penulis sendiri merupakan orang jawa timur, yang kebanyakan keluarga disana memiliki banyak anak. Sebenarnya bukan hanya di jawa timur saja yang memegang kuat istilah ini, hampir seluruh masyarakat Indonesia beranggapan “Banyak Anak Banyak Rezeki”. Tapi mumpung penulis adalah orang jawa timur, mari kita ambil contoh dari sini saja. Jumlah penduduk di jawa Timur tahun 2015 mencapai 38.847.561 jiwa dan akan semakin naik menjadi 39.698.631 jiwa pada tahun 2019. Jumlah ini diprediksi akan semakin bertambah dari tahun ke tahun.

Kalian bisa cek info terbaru jumlah penduduk jawa timur  di sini

Pertumbuhan penduduk akan menjadi modal pembangunan sebuah negara. Semakin banyak jumlah penduduk, kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan dan lapangan kerja akan meningkat sehingga harus menjadi perhatian dari pemerintah (BPS, 2018). Pertambahan jumlah penduduk tidak terlepas dari tingkat fertilitas (kelahiran). Tingginya fertilitas akan menimbulkan berbagai masalah jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Maka sangat penting untuk mengendalikan pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia. Pada era Soeharto KB (Keluarga Berencana) merupakan salah satu sarana untuk pengendalian jumlah penduduk.

Ingin tau lebih banyak tentang KB pada era Pak Soeharto kalian bisa cek di sini ygy

Atau ingin tau lebih lanjut tetang KB bisa kalian lihat ini atau ini 


Oke, sebelum kita membahas lebih dalam mari kita cari tau kenapa masyarakat Indonesia banyak mempercayai istilah tersebut. Budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” yang berkembang di masyarakat memiliki arti bahwa setiap anak memiliki rejekinya masing – masing sehingga semakin banyak anak maka rejeki yang diterima oleh orang tua menjadi semakin banyak (Alayubi, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mempercayai bahwa nilai anak sebagai bantuan dalam hal ekonomi kelurga dan untuk membantu pekerjaan di rumah (A, Isebelle et al, 2005). Hal tersebut dapat memberi gambaran bahwa budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” berhubungan dengan nilai anak yang dianut oleh orang tua. Nilai yang dimaksud adalah anak dinilai dapat membantu secara finansial ketika orangtua sudah tua, membantu faktor psikologis orang tua ketika orang tua telah lanjut usia, membantu bisnis keluarga ketika keluarga memiliki bisnis sendiri, dapat membantu saudara yang lain, meneruskan silsilah keturunan keluarga, dan lainnnya (Buripakdi, 1977). Selain hal yang disebutkan diatas, anak juga dilihat dari nilai cinta dan kebahagiaan. Mereka yang memiliki anak dapat memperoleh perasaan bahagia, perasaan dicintai oleh anak, dan senang melihat anak tumbuh juga berkembang (Kim, et al, 2005).

Dari penjabaran diatas apakah lukisan dari budiyana ini ingin menyindir kebanyak orang yang menganggap bahwa “Banyak Anak Banyak Rezeki” atau malah sebaliknya. Mari kita bahas, lets goo….

     

Judul Karya : “Happiness”

Nama Seniman : Budiyana

Bahan : Oil on Kanvas

Ukuran : 120 cm x 150 cm

Tahun Pembuatan : 2014

Karya lukis Budiyana ini berjudul “Happiness” memvisualisasikan bentuk dari lukisan figur manusia. Menggambarkan tentang sepasang suami istri dengan tubuh yang subur tanpa alas kaki sedang berusaha memboyong keempat orang anaknya yang telihat subur pula dengan menggunakan sepeda ontel. Secara umum suasananya tampak sesak memenuhi badan sepeda yang terasa sempit, seakan sepeda itu menjadi kecil karena tidak sebanding dengan postur tubuh anak-anak yang terlihat besar dan subur.

Dalam lukisan Budiyana ini, unsur tradisinya sangat kental, dilihat dari pemberian aksesoris busana pada figur suami istri serta anak-anaknya tersebut yang menggunakan busana khas Jawa, yaitu penggunaan baju batik, kemben batik, serta blankong penutup kepala yang dikenakan oleh suami dan keempat orang anak tersebut. Busana ini menyiratkan bahwa figur-figur yang ditampilkan oleh Budiyana tersebut merupakan figur orang pedesaan (ndeso). Lukisan ini didominasi dengan warna kulit (coklat), kream, hijau serta warna hitam menjadi garis tepi pada setiap objek gambar.

Lukisan lain Budiyana

Komposisi dalam karya Budiyana

Lukisan ini berbentuk figuratif, tertata, dan rapi. Penggunaan gelap terang tidak terlalu mencolok dalam lukisan ini, tetapi Budiyana memainkan garis untuk membentuk visual dua dimensinya. Keberadaan garis dalam lukisan ini, pada dasarnya berfungsi sebagai penegas bentuk, sehingga bentuknya dapat dikenali dengan baik. Garis-garis yang ada terlihat cukup luwes, lemah gemulai mengikuti bentuk yang berirama. Garis-garis tersebut mendeskripsikan batas-batas atau kontras dari nada gelap terang, warna atau tekstur yang terjadi sepanjang batas-batas bentuk tersebut. Warna background pada lukisan ini terlihat kontras dengan figur sebagai objek materinya, Namun, hal ini justru bernilai positif, karena warnanya mendukung dan memberi ruang perhatian lebih pada objek lukisan tersebut. Karya Budiyana ini terlihat mampu menghibur penonton untuk berfikir tentang permasalahan di masyarakat saat ini.

Apasih makna dari lukisan tersebut ?

Budiyana dalam berkarya selalu mengambil isu-isu yang tidak jauh dari lingkungan sosial. Dengan menampilkan visualisasi figuratif dalam lukisan, ini menandakan bahwa Budiyana sedang berusaha untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat. Dalam hal ini, Budiyana berusaha untuk mengungkapkan rasa kritisnya terhadap masyarakat Indonesia. Istilah “Banyak anak, banyak rezeki”.  diungkap Budiyana dalam karya ini. Istilah yang telah ada sejak zaman dahulu.

Hal inilah yang mungkin bisa saja menjadi dasar penciptaan karya “Happines” Budiyana. Dengan berbekal pengalaman sosial, ia mencoba menvisualisasikan istilah tersebut dari sudut pandang yang berbeda dengan pengungkapan bentuk figur sebuah keluarga. Dimana Budiyana tidak tanggung-tanggung mewujudkan figur-figur dalam keluarga tersebut dengan tubuh-tubuh yang subur (gemuk). Meskipun keluarga tersebut terlihat sederhana, namun sangat jelas mereka hidup berkecukupan. Terutama dengan masalah isi perut mereka seperti tidak kekurangan, bahkan cenderung lebih. Inilah figur atas istilah “Banyak anak, banyak rezeki” yang ada dibenak Budiyana. Namun terlepas dari itu semua, tentu realitas yang ada tidak sebanding dengan apa yang ditampilkan oleh Budiyana dalam karyanya ini. Budiyana seolah ingin menyadarakan masyarakat, untuk berpikir dan bertidak sesuai dengan kenyataan, bukan hanya sekedar mendengar omongan yang belum tentu benar dan bermanfaat bagi kita.

Apa sih yang melatar belakangi pemikiran Banyak anak, Banyak rezeki ?

Zaman dulu pekerjaan masyarakat di Indonesia kebanyakan antara petani atau nelayan. Apalagi disekitar rumah penulis, rata-rata bekerja sebagai petani dan kebanyakan memiliki sawah yang luas. Bisa dibayangkan untuk mengelola sawah dan mengerjakannya pastinya butuh tenaga ekstra. Karena pekerjaannya kebanyakan membutuhkan tenaga fisik. Sekiranya dikerjakan dengan gotong royong ramai-ramai dengan anaknya yang banyak pasti lebih ringan.

Bisa dikatakan, zaman dulu kondisi kesehatan dan gizi juga belum terlalu baik. Merupakan suatu kemujuran bila keluarga yang memiliki 7 anak, hidup dan tumbuh sehat semuanya. Tapi apakah memiliki banyak anak selalu menguntungkan ?

Inilah yang ingin disampaikan dalam karya Budiyana. Ia merepresentasikan kemelut yang terjadi di tengah-tegah masyarakat Indonesia. Banyak memiliki anak, tidak ada jaminan akan menguntungkan. Pepatah “Banyak anak, banyak rezeki” memang benar adanya. Tapi banyak orang yang salah mengartikan. Banyak orang yang terjebak dengan pepatah ini. Dengan harapan akan bertambah rejekinya. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan ungkapan ini dalam realitas sehari-hari kalo rejeki ditafsirkan dalam arti luas yang tidak hanya meliputi uang/harta benda maka seseorang yang punya banyak anak memang jelas mendapat banyak rejeki. Namun dalam perkembangannya karena banyak orang sering menafsirkan rejeki hanya semata-mata uang/harta benda, maka penafsirannya menjadi banyak anak nanti pasti banyak penghasilan berupa uang atau materi karena Allah pasti akan membukakan jalan-jalan rejeki yang baru entah bagaimana jalannya.

Dalam realitasnya penafsiran seperti itu tidak sejalan dengan kondisi yang dialami kemudian. Banyak keluarga dengan yang memang awalnya masuk kategori miskin, kemudian mempunyai banyak anak, tetap miskin atau bahkan tambah miskin (dari pengamatan di lapangan). Banyak juga diantara mereka yang cenderung masa bodoh tanpa memikirkan masa depan anak-anaknya, yang tentunya dengan banyaknya anak yang dimiliki akan semakin banyak tanggungan dan biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka untuk memberi makan dan biaya sekolah mereka. Orangtua harusnya memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya. Contohnya yakni dengan memberikan hak anak sejak berada di dalam kandungan hingga tumbuh dewasa. Sementara jika terlalu sering melahirkan dalam jarak yang rapat, hak-hak anak menjadi kurang terpenuhi.

Karya yang diciptakan Budiyana ini, seolah menyindir sekelompok masyarakat tertentu yang masih setia dengan kepercayaan “Banyak anak, banyak rezeki”. Budiyana ingin menunjukkan bahwa apa yang mereka bayangkan tidak seindah kenyataan yang ada. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam membangun rumah tangga. Sebagai manusia yang cerdas haruslah kritis dan intropeksi diri apakah keluarga yang dibina memiliki dasar yang kuat terutama dalam hal perekonomian, agar tidak menyesal dikemudian hari.

Jadi apakah menurut kalian memiliki banyak anak akan banyak rezeki atau malah sebaliknya ?